POSKOTAJABAR,BANDUNG
Dari jiwa-jiwa suci seterang bintang penyempurnaan selalu diberikan kepada bintang-bintang di langit.
Dari luar pengaturan kita diatur oleh bintang-bintang, padahal batin kitalah yang menjadi pengatur langit.
Oleh karena itu, sementara dari wujud engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau makrokosmos.
Membicarakan itu sumber buah; padahal ranting itu tumbuh demi buah.
Jikalau bukan karena mengharap buah, meski ia dihasilkan oleh pohon. [1]
Dalam beberapa bait puisi tersebut, Jalaluddin Rumi menggambarkan keterkaitan antara dimensi batin manusia (sebagai mikrokosmos) dengan alam semesta (sebagai makrokosmos). Apa yang ada di alam semesta merupakan gambaran dari apa yang ada pada diri manusia. Bahwa batin manusialah sebenarnya yang pembantuan. Di dua bait terakhir, Rumi sedang menggambarkan bahwa alam semesta diciptakan dan dipersiapkan untuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Umat muslim pun tentu tak akan lupa pada ayat Al-Quran tentang bagaimana Tuhan menampakkan ayat-ayat di ufuk dan ayat-ayat dalam diri ( nafs ) agar manusia tahu bahwa itu adalah al-haqq . [2]
Pandangan kosmologi semacam ini hidup subur di masa lalu, namun seperti takhayul bagi kebanyakan manusia modern dan sudah lama ditanggapi. Gong resmi menerapkan konsepsi ini adalah semenjak abad ke-17, jelas Arthur Oncken Lovejoy, yaitu tatkala konsep Great Chain of Being atau realitas yang bertingkat-tingkat diruntuhkan. Diganti dengan konsep yang memandang bahwa yang nyata hanyalah realitas wadak ini serta dapat dikupas tuntas melalui sains. Awalnya ini hanya terjadi di Eropa. Lalu orang-orangutan kulit putih tersebut merasa memiliki SURYA ( orangutan kulit putih SURYA ) tinjauan untuk review memberadabkan bangsa-bangsa Lain Yang dipandangnya terbelakang.Maka disebarkanlah pandangan dunia (wadak) tersebut ke berbagai belahan bumi melalui penjajahan.
BACA JUGA: Spoiler True Beauty Episode 11 Hubungan Su Ho dan Seo Jun Akhirnya Membaik
Tubuh, Jiwa, Ruh
Tak mudah memahami konsep mikrokosmos-makrokosmos tersebut sebab, memasuki Rumi nyatakan, ini hanya terbuka bagi “jiwa-jiwa suci seterang bintang”. Namun jika konsep ini ditelusuri lebih jauh, akan dijumpai bahwa di masa lalu yang disebut sebagai "diri" tubuh wadak ini, tapi "jiwa sebagai wujud hidup terpisah dari tubuh". Jiwa ini abadi, ada sebelum tubuh, dan akan tetap ada setelah tubuh mati. Konsepsi macam ini bisa dijumpai dalam ajaran agama-agama besar yang biasa kita kenal. Bahkan dalam ajaran filosofi Sōkratēs maupun Platōn. Akan tetapi di masa ini jiwa dipandang tidak lebih dari ilusi bentukan saraf dan otak. Adapun personality (kepribadian) adalah persona (“ topeng”, Bahasa Latin) yang dibentuk dari tumpukan berbagai pengalaman hidup sehingga manusia menjadi person (pribadi).
Kemudian, wujud ketiga yang tertukar-tukar dengan jiwa, yaitu ruh. Tak mengherankan masa ini, kebanyakan orang yang tahu jiwa = ruh "telah disinyalir Al-Ghazali 1000 tahun lalu. Maka, wujud seperti" daimón "atau ruh yang berbisik kepada Sōkratēs jika dia melakukan hal yang bukan bagiannya serta diam jika Sōkratēs melakukan sesuatu yang memang menjadi bagiannya, atau yang dalam Perjanjian Lama disebut ru'ach , dalam Perjanjian Baru disebut pneuma atau parakletos , dalam Al-Quran disebut ruh, kini tak lagi dikenal apa fungsinya. Ruh sering disebut, bahkan saat pemakaman, namun selalu tertukar dengan jiwa ( nafs ).
Wujud ketiga inilah yang menuntun Sōkratēs untuk menjalankan peran yang sesuai jati dirinya, yaitu areté atau keutamaannya. Sokrates mengumpamakan bahwa masyarakat yang memiliki keutamaan adalah daerah yang memotong rumput, dan bukannya menjadi gunting. Inilah yang disebut Sōkrat sebagai keadilan, yaitu bagaimana seseorang melakukan apa yang menjadi bagiannya dan tak mencampuradukkannya dengan bagian orang lain. Atau, dengan kata lain, menjalankan tugas sejatinya yang dicapai oleh pengenalan diri. Itulah mengapa para pembaca Platōn bisa menangkap bahwa inti dari filsafatnya adalah kenali dirimu ( gnōthi seauton ).Ingat, diri di sini adalah jiwa, jadi jati diri Anda itu kesalahan segala atribut di identitas atau di catatan instansi pemerintah.
Pengenalan diri ini akan mengantarkan manusia pada “apa misi hidupnya di muka bumi ini”. Khazanah ini bisa ditemukan di kitab suci agama-agama besar yang biasa kita kenal. Dalam agama Hindu (yang nama sebenarnya adalah Sanatana Dharma ) dan juga Buddha dikenal istilah dharma . Ide tentang dharma ini banyak dipaparkan dalam kitab Bhagawad Gita , yang menginspirasi novel Steven Pressfield lalu difilmkan dengan judul The Legend of Bagger Vance . Dalam Perjanjian Baru terlihat lebih jelas bagaimana setelah para hawariyin mendapatkan roh kudus, mereka pun bisa berbicara dalam bahasa asing, seperti mengisyaratkan penugasan mereka ke daerah yang sesuai dengan bahasa yang mendadak mereka kuasai tersebut. Dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah fithrah yang tak akan berubah, [3] atau ma'rifat (mengenal diri dan mengenal Tuhan). Bahkan penelitian etnoparenting yang dimotori oleh Yeni Rachmawati, dosen UPI, menemukan bagaimana khazanah jati diri ini pun ada jejaknya dalam budaya-budaya lokal.
Namun, konsep jati diri semacam ini telah menghilang di era modern. Dalam pandangan para filsuf modern, manusia itu tak ubahnya Mr. Bean yang jatuh dari langit, entah dari mana dan mau ke mana, lalu luntang-lantung ke sana ke mari membuat heboh. Pandangan manusia di mata para filsuf modern itu bernuansa anti-esensialisme (manusia tak punya esensi apa pun) dan ateleologi (manusia hadir di bumi tanpa ada tujuan akhir apa pun). Michel Foucault, filsuf Prancis, terkenal bahwa ajaran ajaran Platon adalah “perawatan diri” ( epimeleia heautou ). Akan tetapi "diri" dalam pandangan Foucault yang krisis jiwa yang terpisah dari tubuh. Diri itu adalah tubuh. Maka dia mengajukan konsep konsep estetika keberadaan, bahwa diri adalah karya kita, terserah kita dijadikan apa. [4]
Baca juga: Ramalan Zodiak Besok, Kamis 21 Januari 2021, Taurus Sedikit Sensitif, Leo Budak Cinta
Demikian, membicarakan ihwal jati diri manusia di era modern yang bisa membuahkan label mematikan, yaitu esensialis. Seperti yang ditulis oleh Robert Jay Lifton dalam bukunya, The Protean Self: Human Resilience in an Age of Fragmentation , manusia modern itu seperti sosok Proteus dalam mitologi Yunani, yang dikutuk oleh dewa Poseidon sehingga bisa berubah menjadi apa pun yang menjadi dirinya sendiri.
BACA JUGA: Disperdagin Kabupaten Bogor Fokus Terhadap Pembinaan IKM untuk Meningkatkan Iklim Usaha
Budaya, Peradaban, Semangat Zaman
Di tahun 1999, saya pernah membuat sebuah draft awal skripsi saat kuliah di FSRD ITB. Inti gagasannya bahwa konsep peradaban itu seperti tubuh, sedangkan budaya itu seperti jiwa, adapun semangat zaman ( zeitgeist ) itu adalah ruh yang mewarnai semangat suatu zaman. Jika ditelusuri, kata budaya berasal dari kata Sansekerta, buddhayah atau bodhya , (jamak dari buddhi ), yang berarti “ akal ”. Namun, mengingat bahwa di masa lalu antara tubuh dan jiwa dibedakan, maka buddhi adalah akal milik jiwa (bukan otak milik tubuh). Untuk itu diperlukan buddha (dalam arti pencerahan di tataran jiwa) agar bisa didayagunakan. Awalnya budaya merupakan segala sesuatu yang hasil karya akal budi jiwa manusia.
foto By Blogspot
Begitu also di Dunia Barat, kata budaya Berasal Dari bahasa Latin, cultura maupun kultus (Dari akar kata Colere ). Awalnya Suami Adalah kata Sifat Yang Berarti Pemeliharaan DENGAN konotasi seperti pelatihan , pemujaan , penghormatan , pemujaan . Selain itu juga pengelolaan tanah atau pengembangan tanaman ; lalu kehalusan perilaku . Budaya Makna semula berkembang menjadi keunikan adat atau kebiasaan dari tiap masyarakat yang dipandang sebagai kodrat dari Tuhan. Cicero, filsuf Romawi, menggunakan istilah kultura animi , yaitu pembudidayaan dan pengembangan hidup batin , atau juga pengolahan jiwa . Di Eropa Abad Pertengahan, sembahyang juga disebut incredultura Dei . Di Prancis abad ke-13, istilah budaya yang digunakan dalam Pemesanan de l'esprit atau bangunan ruhaniah . Maka dikatakan bahwa manusia utama adalah manusia yang memiliki kultur.
BACA JUGA: Anak Gugat Ayah Kandung Rp 3 M di Bandung, Sehari Sebelum Persidangan Sang Anak Meninggal
Dalam perkembangan berikutnya, budaya menjadi sinonim dengan humanitas yang membedakan manusia dari. Definisi budaya dalam bidang antropologi tak lagi mengembalikannya sebagai sesuatu yang muncul dari jiwa yang telah dimurnikan, tapi hasil terbaik dari pemikiran manusia yang membedakannya dari binatang. Menjelang akhir abad 20, budaya mulai didefinisikan sebagai interaksi komunikatif, yaitu perilaku yang dimediasi oleh simbol dan makna.
Setidaknya dari sini bisa terlihat tiga makna budaya. Kemunculan Pertama kalinya kata cultura maupun kultus ITU penekanannya LEBIH ditunjukan ditunjukan kepada jiwa Dan bersifat transendental. Begitu pula dengan kata buddhayah atau bodhya . Ketika masuk era modern, kognitif kontrol, dan memang kognitif yang sering 'ditunjuk' sebagai jiwa di dunia modern. Di akhir 20, budaya implementasi sebagai sebentuk makna yang bersliweran di tengah masyarakat manusia. Penekanannya lebih sesuai dengan konteks dan tak harus berupa sesuatu yang adiluhung.
Berikutnya “ peradaban ” sebagai terjemahan dari civilizatie (Belanda) atau civilization (Inggris dan Perancis). Istilah ini berasal dari kata sifat civilis (Latin) yang mengacu pada warga negara . Sedang kata peradaban berasal dari kata adab (Arab). Sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab, adab diartikan sebagai ajakan makan atau undangan ke perjamuan makan. PADA masa Islam, adab digunakan sebagai ajakan untuk meninjau dan berakhlak Baik , juga Pendidikan ATAU PENGAJARAN. PeradabanKata (Prancis) memiliki akar kata civilitas yang sinonim dengan bahasa Latin, yaitu urbanitas atau kehidupan kota.